Beberapa hari ini cuaca di beberapa kota Indonesia sangat mendidih, panas terik. Di kota saya tinggal yaitu Bekasi, suhu siang hari sangat menyengat tidak dapat dibendung. Tutupan awan tidak nampak di langit kota sehingga sinar matahari langsung menembus ke bawah permukaan.
Data BMKG mencatat beberapa kota bahkan ada yang suhunya mencapai 36-37 derajat celcius, bukan main. Fenomena cuaca ektrem ini tentu akan berdampak pada kegiatan, rutinitas masyarakat di dalamnya. Dalam konteks pendidikan pun, cuaca ekstrem ini akan sangat mengganggu terhadap kualitas belajar yang menurun.
Otak tidak bisa berfikir maksimal dengan baik jika kelembaban di sekitar tinggi sehingga perlu rasanya kita, masyarakat, pemerintah merevolusi pembangunan kota atau urban revolution landscape. Di beberapa portal medsos kita melihat bahwa fenomena perubahan iklim adalah hal nyata dan berdampak pada perubahan pola cuaca.
Negara-negara lain sudah berupaya untuk mengurangi urban heated alias pemanasan kota akibat teriknya panas atmosfer. Lalu langkah apa yang dilakukan?. Tentu adalah dengan menambah jumlah vegetasi terutama model kanopi di perkotaan.
Vegetasi ini dapat menyerap karbon, menurunkan suhu, membuat kota semakin teduh sejuk sehingga masyarakat dapat beraktifitas tanpa terganggu cuaca ekstrem. Kota-kota di Indonesia nampaknya perlu melakukan revolusi alias perubahan cepat dapat merekonstruksi tata kota.
Manusia membutuhkan mahluk hidup lain, tidak bisa sendiri. Jika 50% saja kota dapat tertutupi vegetasi maka suhu akan menurun dan dapat meminimalisir dampak negatif dari cuaca ekstrem panas. Vegetasi selain menyerap karbon, juga menyimpan air yang baik.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan lingkungan hidup tentu menjadi pioner dalam memerangi perubahan iklim dan fenomena hidrometeorologi ekstrem. Indonesia berada di wilayah tropis dimana dampak perubahan iklim akan sangat terasa.
Dalam silabus pembelajar geografi misalnya, tentu ada banyak materi mengenai dinamika cuaca dan bencana atua lingkungan. Namun apakah sekolah sudah menerapkan konsep berkelanjutan, berwawasan lingkungan dalam tata kelolanya?. Jika tidak maka ini menjadi sebuah paradoks dan belajar hanya sebatas teori menjadi nyata adanya di Indonesia.
Membangun kota bukan hanya sebatas bangunan namun juga membangun peradaban yang serasi dan seimbang dengan kaidah lingkungan. Hubungan simbiosis manusia dan lingkungan ini perlu menjadi visi setiap pemimpin wilayah karena jika sudah terjadi bencana maka yang ada adalah saling menyalahkan satu sama lain.
Penulis: Agnas Setiawan, Pemerhati Lingkungan, Blogger
Sumber gambar:
https://www.rri.co.id/pontianak/daerah/395506/fenomena-suhu-tinggi-di-indonesia-memunculkan-kekhawatiran