Sore kemarin, langit ditutupi awan hitam pekat pertanda butiran air hujan berakumulasi di atmosfer dan siap menumpahkan isinya ke permukaan bumi. Citra satelit di atas menggambarkan aliran angin muson hari ini.
Setelah beberapa pekan cuaca panas melanda Bogor dan sekitarnya, kini periode musim hujan nampaknya sudah dimulai. Saya pulang naik motor dari sekolah menuju rumah lalu ditemani hujan deras yang sangat besar.
Setelah sekian lama gerah dengan cuaca panas, kini presipitasi yang masif turun ke bumi. Ini pertanda pergantian musim baru. Lalu mengapa sejak kemarin awan di langit mulai banyak mendung, tak seperti biasanya?
Seorang ahli geografi tentu akan bertanya, mencari tahu, menganalisis hingga menemukan jawaban dari hasil pencariannya.
Sederhananya tentu periode musim hujan di Indonesia biasa dimulai saat angin muson barat berhembus dari daratan Asia ke Australia yang membawa massa uap air yang tinggi.
Periode angin muson barat biasa muncul dari bulan Oktober - Maret, namun kenapa bulan September ini sudah mulai hujan besar melanda?. Apakah ini tanda perubahan iklim?. Ataukah ada faktor dinamika atmosfer lain?.
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang seharusnya dapat dijawab oleh anak-anak atau siswa SMA dimana mereka sudah harus bisa melakukan sintesa atau simpulan dari beberapa informasi yang didapat lalu dituangkan dengan tulisan dan deksripsi sendiri.
Berliterasi mengenai asal mulai datangnya hujan sore kemarin, sebenarnya sudah menjadi bagian dari bagaimana kemampuan menjadi masyarakat ilmiah.
Lalu selepas hujan deras kemarin sore, apa yang harus disiapkan penduduk ke depannya?. Usaha apa yang akan potensial laku atau menurun?. Ini perlu dicermati agar kita menjadi masyarakat cerdas lalu dapat memanfaatkan dinamika cuaca untuk menjadi inspirasi usaha dan mendapatkan keuntungan.
Hujan bukan hanya sebatas bencana, tapi ada peluang dan tantangan bagi manusia untuk memanfaatkan hujan dengan efektif dan efisien. Mari tidak menggerutu soal cuaca, menghardik hujan, karena atmosfer sejatinya membawa rezeki bagi manusia.
Agnas Setiawan, Guru Geografi