Pagi ini saya teringat sekitar sepuluh tahun lalu saat di sekolah tempat mengajar kedatangan tamu dari luar negeri, seorang guru juga.
Kami semua guru dikumpulkan untuk sharing bersama. Dalam kegiatan tersebut, guru dari luar negeri tersebut menampilkan video saat supervisi kelas dilakukan.
Lalu apa yang terjadi di video tersebut?. Sekolah mengundang orang tua siswa untuk masuk ke kelas melihat proses pembelajaran?.
Lalu bagaimana gurunya?. Ya gurunya biasa saja, kan sudah menyiapkan materi sebelumnya. Kan kualitas guru Indonesia beda dengan negara lain?. Nah kalau ini kita bahas di lain waktu. Lantas apa yang dinilai saat kegiatan supervisi tersebut?.
Ternyata kepala sekolah mengundang orang tua untuk melihat bagaimana proses belajar anaknya, bukan untuk menilai guru!. Catat ya, fokus utama adalah ke anak di kelas.
Jadi selama belajar, orang tua juga mengamati anaknya masing-masing, apa yang mereka lakukan. Semua berjalan biasa saja dan tidak ada hal aneh, tegang atau apa gitu.
Selepas kegiatan belajar lalu akan ada evaluasi. Apanya yang dievaluasi?. Bukan gurunya, tapi perilaku siswa di kelas. Mengapa ada anak yang diam, gak diam atau lainnya lah gitu ya.
Dari pengamatan fenomena kelas tersebutlah kepala sekolah dan guru kemudian merumuskan bersama strategi belajar di pertemuan berikutnya.
Lalu orangtua bagaimana?. Biasa saja, tidak ada intimidasi atau apa gitu, bahkan mereka jadi tahu pola anak saat di kelas. Di rumah mereka akan diingatkan lagi oleh orang tuanya terkait kegiatan belajar. Tapi mungkin ini berkaitan pula dengan pola pikir masyarakat negara maju. Kalau di negara kita mungkin bisa lain cerita lah ya. Ada banyak faktor pembeda yang bisa dikaji terutama budaya.
Nah jadi itulah nilai yang say bisa ambil dari kegiatan sharing dengan guru luar tersebut, menambah perspektif baru tentang pendidikan. Jika di Indonesia seringkali supervisi itu sering dicap sebagai ajang "menilai guru" "menghakimi guru", padahal bukan itu esensi nya.
Lembaga pendidikan yang masih memiliki mindset seperti itu perlu berbenah diri, dan mengubah strategi sekolah agar kultur pendidikan menjadi lebih baik.
Budaya menghakimi terasa kental di Indonesia, contoh saja terlihat di medsos saat mengkritik tulisam sesorang yang bisa sampai di luar batas kewajaran.
Maka tak heran kalau di dunia pendidikan masih ada label seperti itu maka goal nya di masyarakat akan sama juga. Jadi mari ambil pelajaran dari negara maju yang baik dan kita adopsi ke kegiatan pendidikan di sekolah agar pendidikan lebih humanis untuk semua.
Jadi bagaimana bapak ibu guru, siap mengundang orang tua masuk ke kelas kalian?.
Agnas Setiawan, Guru Geografi, CEO gurugeografi.id